https://fremont.hostmaster.org/articles/germany_loves_genocide/id.html
Home | Articles | Postings | Weather | Top | Trending | Status
Login
Arabic: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Czech: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Danish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, German: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, English: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Spanish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Persian: HTML, MD, PDF, TXT, Finnish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, French: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Hebrew: HTML, MD, PDF, TXT, Hindi: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Indonesian: HTML, MD, PDF, TXT, Icelandic: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Italian: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Japanese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Dutch: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Polish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Portuguese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Russian: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Swedish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Thai: HTML, MD, PDF, TXT, Turkish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Urdu: HTML, MD, PDF, TXT, Chinese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT,

Dari Windhoek ke Gaza: Kontinuitas Keterlibatan Jerman dan Janji yang Rusak dari “Nie wieder”

Hubungan Jerman dengan genosida bukan hanya sejarah; ia eksistensial. Identitas modern bangsa ini dibangun di atas ingatan, pertobatan, dan janji “Nie wieder”“Tidak pernah lagi”. Namun, di abad ke-21, ketika Israel melancarkan perang yang menghancurkan terhadap Gaza yang semakin banyak negara, institusi, dan ahli hukum mengakui sebagai genosida, Jerman sekali lagi terlibat dalam kekejaman — kali ini sebagai fasilitator.

Ironi itu sangat mencolok: negara yang menjadikan pencegahan genosida sebagai dasar moralnya kini mempersenjatai dan melindungi kampanye yang membawa tuduhan yang sama. Tragedi Jerman bukan hanya dalam pengulangan sejarah, tetapi dalam salah tafsir arti “Tidak pernah lagi”. Apa yang dimulai sebagai komitmen universal untuk mencegah pemusnahan massal telah mengeras menjadi perintah sempit: jangan pernah lagi menyakiti orang Yahudi — bahkan jika itu berarti mengabaikan atau memfasilitasi kerugian bagi orang lain.

Asal-usul Kolonial Modernitas Genosida

Jalan Jerman menuju era modern dipaving dengan kekerasan kolonial. Antara 1904 dan 1908, selama pemerintahan di Afrika Barat Daya (sekarang Namibia), pasukan Jerman di bawah Jenderal Lothar von Trotha memusnahkan puluhan ribu Herero dan Nama setelah pemberontakan melawan eksploitasi kolonial. Para penyintas diusir ke padang pasir untuk mati atau dipenjara di kamp konsentrasi seperti Pulau Shark, di mana mereka mengalami kelaparan, kerja paksa, dan eksperimen medis.

Sejarawan menganggapnya sebagai genosida pertama abad ke-20, dan kontinuitasnya dengan Holocaust tidak dapat disangkal. Pseudo-ilmu rasial, pembunuhan birokratis, dan kamp konsentrasi menemukan ekspresi awal di Namibia. Eugen Fischer, yang melakukan “studi rasial” pada tengkorak Herero dan Nama yang dibunuh, kemudian menjadi eugenis terkemuka di bawah Nazi dan mengajarkan teori yang dikutip dalam Mein Kampf.

Genosida Herero-Nama bukan penyimpangan, melainkan model — uji coba kolonial dari modernitas pemusnah. Logika hierarki rasial, yang pernah diekspor ke luar negeri, akhirnya kembali ke Eropa, diindustrialisasi dan dimekanisasi sebagai Holocaust.

Holocaust dan Warisan Tanggung Jawab

Setelah 1945, Jerman melakukan perhitungan yang mendalam. Holocaust menjadi trauma sentral peradaban modern, dan Vergangenheitsbewältigung Jerman — perjuangannya menghadapi masa lalu — mendefinisikan kelahiran kembali politik dan moralnya. Republik Federal baru mendirikan dirinya di atas konstitusi yang mengabadikan martabat manusia dan mengadopsi kewajiban eksplisit untuk mencegah pengulangan kekerasan genosida.

Namun, seiring waktu, universalitas pelajaran ini menyempit. Keunikan Holocaust, alih-alih menginspirasi solidaritas dengan semua korban penganiayaan, mengeras menjadi prinsip kewajiban eksklusif terhadap orang Yahudi dan Israel. Pemerintahan Jerman berturut-turut mengabadikan keamanan Israel sebagai Staatsräson — alasan negara — mengubah pertobatan moral menjadi aliansi strategis.

Perkembangan ini mengubah “Tidak pernah lagi” dari larangan universal menjadi neurosis nasional, di mana rasa bersalah historis terhadap orang Yahudi menaungi empati terhadap orang lain — terutama Palestina. Refleks moral menjadi defensif daripada reflektif, performatif daripada prinsipil.

Gaza dan Pembalikan “Tidak pernah lagi”

Kampanye militer Israel di Gaza, yang diluncurkan pada Oktober 2023, telah menewaskan puluhan ribu warga sipil dan menyebabkan bencana kemanusiaan. Negara-negara seperti Afrika Selatan, Brasil, Turki, dan Bolivia, bersama dengan Komisi Penyelidikan PBB sendiri, telah melabeli tindakan Israel sebagai genosida menurut hukum internasional.

Jerman, bagaimanapun, tetap menjadi salah satu pembela Israel yang paling teguh. Ia terus menyetujui ekspor senjata, memberikan perlindungan diplomatik, dan menekan perbedaan pendapat internal. Pada 2025, Kanselir Friedrich Merz mengumumkan penangguhan terbatas pengiriman senjata yang dapat digunakan di Gaza, tetapi hanya setelah kritik global yang berkelanjutan dan protes internal. Sementara itu, Jerman telah menekan demonstrasi pro-Palestina, menyensor seniman dan akademisi, serta mengacaukan pembelaan hak Palestina dengan antisemitisme.

Faktanya, Jerman telah menafsir ulang janji historisnya. “Tidak pernah lagi” tidak lagi berarti “Tidak pernah lagi bagi siapa pun” — itu berarti “Tidak pernah lagi menghadapi orang Yahudi”. Hasilnya adalah pembalikan moral: bangsa yang pernah berjanji mencegah genosida kini merasionalisasi keterlibatan di dalamnya.

Analogi “Pengganggu Halaman Sekolah”: Psikologi Moral Penghindaran

Posisi Jerman menyerupai psikologi seorang pengganggu halaman sekolah yang, setelah dihina dalam pertarungan, bersumpah tidak akan pernah lagi menantang lawan itu — bukan karena kebangkitan moral, tetapi karena takut. Alih-alih meninggalkan kekerasan sepenuhnya, pengganggu hanya mengalihkan agresi ke arah mereka yang dianggap lebih lemah.

Dalam analogi ini, Israel adalah petarung yang tak tersentuh, selamanya di luar kritik; Palestina dan pendukung mereka menjadi target baru yang dapat diterima. Jerman, yang trauma dari masa lalunya, telah mengganti refleksi dengan penghindaran. Rasa bersalah historisnya telah bermetastasis menjadi pengecut moral: ia tidak akan menghadapi kekuasaan ketika kekuasaan itu dibungkus aura moral korban-korbannya sebelumnya.

Ironi itu pahit. Dalam upaya untuk tidak pernah lagi menjadi pelaku satu genosida, Jerman berisiko menjadi kaki tangan dalam yang lain.

Intervensi Tunggal Jerman: Dari Rasa Bersalah ke Penjagaan

Sebelum menemukan dirinya sebagai tergugat dalam Nikaragua v. Jerman, Berlin sudah menempatkan dirinya di sisi yang salah dari sejarah dalam Afrika Selatan v. Israel. Pada Januari 2024, Jerman menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara resmi melakukan intervensi di hadapan Mahkamah Internasional mendukung Israel, mengutip kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida — bukan untuk mencegah genosida, tetapi untuk membela negara yang dituduh melakukannya.

Simbolisme itu tajam. Sementara sebagian besar Selatan Global berbaris di belakang kasus Afrika Selatan, Jerman berdiri terisolasi di antara kekuatan dunia, mengutip “Tidak pernah lagi” sebagai pembenaran penyangkalan. Bahkan Amerika Serikat dan Inggris — sekutu politik terdekat Israel — menahan diri untuk tampil di pengadilan.

Pada saat itu, Jerman berubah dari bangsa pasca-genosida yang mencari penebusan menjadi penjaga impunitas untuk kekejaman orang lain. Gerakan itu kurang tentang hukum daripada identitas: tindakan proyeksi moral di mana rasa bersalah Holocaust menjadi perisai kekuasaan Israel.

Penyelesaian Hukum: Nikaragua v. Jerman

Pada Maret 2024, Nikaragua mengajukan gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) menuduh Jerman melanggar Konvensi Genosida dengan memasok senjata dan dukungan politik kepada Israel di tengah perang Gaza. Meskipun ICJ menolak mengeluarkan tindakan darurat pada April 2024, ia tidak menolak kasus tersebut, yang berlanjut pada substansi.

Prosedur ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya: negara Selatan Global menerapkan Konvensi Genosida tidak hanya terhadap pelaku langsung, tetapi terhadap sekutu kuat yang dituduh keterlibatan. Ini menguji apakah kewajiban mencegah genosida berlaku sama bagi mereka yang memfasilitasinya.

Pertahanan Jerman didasarkan pada formalitas hukum — bersikeras bahwa ekspor senjatanya legal dan tidak memiliki niat untuk menghancurkan suatu bangsa. Tetapi pertanyaan yang harus dihadapi pengadilan adalah moral sebanyak hukum: dapatkah negara memanggil ingatan genosida sambil secara material mendukung satu yang sedang berlangsung?

Kontinuitas Keterlibatan

Sepanjang waktu, keterlibatan Jerman telah mengikuti pola.

Dalam setiap kasus, rasionalisasi moral menutupi kekerasan struktural. Dalam setiap kasus, “keamanan” dan “kewajiban” dipanggil untuk memaafkan kehancuran manusia.

Seperti yang dicatat oleh teoretikus pascakolonial Achille Mbembe, ingatan Eropa tentang kekerasannya sendiri sering menjadi pembenaran untuk kekerasan baru. Kosakata moral Jerman — genosida, ingatan, tanggung jawab — diputar ke dalam, melayani penebusan nasional daripada keadilan universal.

Memulihkan “Tidak pernah lagi” yang Universal

Untuk merebut kembali maknanya, “Tidak pernah lagi” harus dipulihkan ke universalitasnya. Penyintas Holocaust seperti Primo Levi dan Hannah Arendt tidak pernah bermaksud agar ingatan menguduskan penderitaan satu kelompok di atas yang lain. Bagi mereka, Auschwitz bukan hanya monumen untuk viktimisasi Yahudi, tetapi peringatan tentang kerapuhan martabat manusia itu sendiri.

Seperti yang ditulis Levi: “Itu terjadi, karena itu bisa terjadi lagi.” Imperatif moral adalah memastikan itu tidak terjadi — bagi siapa pun.

Jalan Jerman ke depan terletak pada pemahaman bahwa pertobatan bukan kesetiaan kepada negara, tetapi kesetiaan kepada prinsip. Mendukung keadilan bagi Palestina tidak mengkhianati ingatan penderitaan Yahudi; itu menghormatinya. Pelajaran sejati dari “Tidak pernah lagi” adalah bahwa genosida, sekali ditoleransi di mana saja, mengancam kemanusiaan di mana-mana.

Kesimpulan

Konfrontasi Jerman dengan genosida jauh dari selesai. Dari padang pasir Namibia ke kamp konsentrasi Eropa, dan sekarang ke reruntuhan Gaza, pertanyaan moral yang sama bertahan: apakah Jerman akan belajar dari sejarahnya atau mengulanginya dalam bentuk baru?

Salah tafsirnya terhadap “Tidak pernah lagi” — sebagai sumpah kesetiaan daripada larangan universal — telah mengubah ingatan menjadi keterlibatan. Untuk memparafrasekan analogi halaman sekolah: pelajaran bukan “Tidak pernah lagi melawan lawan itu”, tetapi “Tidak pernah lagi menjadi pengganggu.”

Selama tujuh puluh lima tahun, Jerman telah membayar reparasi kepada Israel atas kekejaman Holocaust — tindakan pemulihan moral dan material yang berusaha membuat sejarah dapat ditanggung. Namun, jika Mahkamah Internasional akhirnya menemukan bahwa dukungan Jerman kepada Israel memfasilitasi genosida di Gaza, ironinya akan menghancurkan: negara yang pernah membayar reparasi atas genosida terhadap orang Yahudi mungkin menemukan dirinya wajib membayar reparasi atas genosida terhadap Palestina.

Dalam kasus itu, penebusan Jerman akan menutup lingkaran penuh — bukti bahwa sejarah, ketika tidak benar-benar dihadapi, memiliki cara untuk menuntut pembayaran lagi dan lagi. Hanya dengan memulihkan “Tidak pernah lagi” ke makna universalnya — tidak pernah lagi bagi siapa pun — Jerman akhirnya dapat memutus siklus ini dan menebus janjinya kepada kemanusiaan.

Referensi

Mahkamah Internasional (ICJ)

PBB dan organisasi internasional

Negara dan pemerintah

Organisasi hak asasi manusia dan hukum

Karya akademik dan analitis

Liputan media

Impressions: 8