https://fremont.hostmaster.org/articles/interfaith_the_divine_essence/id.html
Home | Articles | Postings | Weather | Top | Trending | Status
Login
Arabic: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Czech: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Danish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, German: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, English: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Spanish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Persian: HTML, MD, PDF, TXT, Finnish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, French: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Hebrew: HTML, MD, PDF, TXT, Hindi: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Indonesian: HTML, MD, PDF, TXT, Icelandic: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Italian: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Japanese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Dutch: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Polish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Portuguese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Russian: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Swedish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Thai: HTML, MD, PDF, TXT, Turkish: HTML, MD, MP3, PDF, TXT, Urdu: HTML, MD, PDF, TXT, Chinese: HTML, MD, MP3, PDF, TXT,

Esensi Ilahi di Dalam Diri: Merebut Kembali Percikan Suci dari Abu Kekaisaran

Selama ribuan tahun, umat manusia telah berusaha memahami tempatnya dalam ciptaan. Dari tepi Sungai Nil hingga pegunungan Andes, dari Mekah hingga Athena, tradisi spiritual dan filosofis yang tak terhitung jumlahnya telah mengakui sebuah kebenaran mendalam: di dalam setiap manusia terdapat esensi ilahi—sebuah percikan suci yang mengarahkan kita menuju kasih sayang, tanpa kekerasan, dan harmoni dengan dunia yang hidup. Cahaya batin ini, baik disebut fitra, Atman, logos, atau sifat Buddha, adalah benang yang menyatukan agama, filsafat, dan kearifan pribumi. Namun, di era modern, kebenaran ini telah diselimuti oleh sistem dominasi, keserakahan, dan eksploitasi—sistem yang berpaling dari esensi ilahi untuk menyembah keuntungan dan kekuasaan.

Percikan Ilahi dalam Tradisi Spiritual Kontemporer

Di seluruh agama hidup dunia, percikan ilahi bukanlah metafora—ia adalah realitas moral yang menuntut keadilan, kasih sayang, dan penatalayanan.

Dalam Islam, Al-Qur’an menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam fitra (30:30)—sifat dasar yang selaras dengan kebenaran, rahmat, dan penyembahan kepada Pencipta. Fitra ini menjadi jangkar khalifa, tugas penatalayanan: melindungi kehidupan, menghormati ciptaan, dan menentang korupsi. Ketika umat Muslim memberikan zakat, menjaga dari kekejaman, dan membela yang tertindas, mereka tidak hanya melakukan sedekah—mereka bertindak sebagai penjaga amanah ilahi. Di dunia yang digerakkan oleh keuntungan dan dominasi, fitra menjadi prinsip revolusioner: menentang semua sistem yang mengeksploitasi alam, hewan, atau kemanusiaan.

Hinduisme mengungkap kebenaran yang sama dalam Atman, diri ilahi di dalam setiap makhluk, tak terpisahkan dari Brahman, realitas tertinggi. Salam Namaste—“Aku bersujud pada yang ilahi dalam dirimu”—adalah pengakuan spiritual atas keilahian yang dibagi. Ahimsa, prinsip tanpa kekerasan, muncul dari pemahaman ini: menyakiti makhluk lain berarti menyakiti diri sendiri. Dalam budaya yang mengukur nilai dengan konsumsi dan penaklukan, Atman memanggil kita kembali pada penghormatan suci, untuk melihat semua bentuk kehidupan sebagai ekspresi dari sumber ilahi yang sama.

Yudaisme menyatakan bahwa umat manusia diciptakan b’tzelem Elohim—menurut gambar Allah (Kejadian 1:26–27). Setiap kehidupan manusia karena itu memiliki martabat ilahi. Mishnah mengajarkan: “Siapa yang menghancurkan satu nyawa menghancurkan seluruh dunia.” Penegasan radikal atas nilai suci ini menuntut penentangan terhadap sistem apa pun—kolonial, politik, atau ekonomi—yang merendahkan kehidupan demi keuntungan atau kekuasaan.

Kristen mengajarkan bahwa cahaya ilahi, Logos, “menerangi setiap orang yang datang ke dunia” (Yohanes 1:9). Mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:39) bukanlah cita-cita pasif—itu adalah perintah moral untuk menghadapi kekejaman dan ketidakadilan di mana pun mereka muncul. Suara paling radikal dari iman, dari Yesus hingga Fransiskus dari Assisi, mengakui hewan, sungai, dan bahkan angin sebagai saudara. Namun hari ini, masyarakat yang menyebut diri Kristen sering kali mendukung perang, eksploitasi, dan kehancuran ekologi—kebalikan dari ajaran Kristus.

Dalam Buddhisme, doktrin sifat Buddha mengajarkan bahwa semua makhluk memiliki potensi pencerahan. Kasih sayang dan tanpa kekerasan bukanlah kebajikan kemudahan—mereka adalah kebutuhan kosmik. Menyakiti kehidupan berarti mengaburkan kebangkitan kita sendiri. Bodhisattva, yang menunda pembebasan pribadi untuk membantu semua makhluk, sepenuhnya mewujudkan kasih sayang ilahi ini.

Dalam tradisi Wicca dan Pagan, percikan ilahi bersinar melalui bumi hidup itu sendiri. Ajaran Rede—“Jika tidak merugikan siapa pun, lakukan sesukamu”—menyatakan visi moral di mana kebebasan dan tanggung jawab tak terpisahkan. Penghormatan pagan terhadap unsur-unsur, bulan, dan musim mempertahankan kearifan ekologi kuno yang hampir dipadamkan oleh peradaban modern.

Tetapi sementara tradisi ini memanggil umat manusia menuju harmoni, dunia modern—khususnya Barat industri kolonial—telah berpaling. Pengejaran keuntungan telah menjadi agama penodaan. Hutan dibantai, lautan diracuni, hewan disiksa di pabrik, dan perang dilancarkan atas nama keuntungan ekonomi atau geopolitik. Esensi ilahi terkubur di bawah berhala materialisme dan kekaisaran.

Tak ada tempat yang lebih jelas daripada di Gaza, di mana kebun zaitun—simbol perdamaian dan rezeki ilahi—ditebang, dan seluruh komunitas dihancurkan di bawah mesin pendudukan. Di sini, keheningan dunia mengungkap kehilangan kolektif atas percikan suci. Penindasan rakyat Palestina, yang dilakukan dengan keterlibatan kekuatan Barat, bukan hanya kejahatan politik—itu adalah bencana spiritual, bukti keterasingan umat manusia dari sifat ilahinya.

Tradisi Kuno dan Pribumi: Hidup dalam Keseimbangan Suci

Sebelum munculnya kekaisaran, peradaban paling awal umat manusia hidup dalam pengakuan napas ilahi yang menghidupkan semua kehidupan. Mitos, ritual, dan struktur sosial mereka ditenun seputar keseimbangan kosmik, keadilan, dan kasih sayang.

Dalam pemikiran Sumeria dan Akkadia, umat manusia dibentuk dari napas ilahi Enlil dan dipercayakan untuk menjaga me—hukum suci yang mengatur kosmos dan komunitas. Melanggar prinsip ini bukan hanya gangguan sosial tetapi korupsi spiritual.

Kosmologi Babilonia dalam Enuma Elish juga melihat manusia sebagai mitra dalam menjaga harmoni kosmik. Kehidupan etis mereka terjalin dengan tatanan ilahi, menekankan perawatan bagi yang rentan dan penyelarasan dengan siklus alam.

Di Mesir, prinsip ma’at—kebenaran, keadilan, dan keseimbangan—adalah detak jantung peradaban. Hidup tidak adil berarti membongkar kosmos. Firaun dinilai bukan berdasarkan kekuatan mereka tetapi dengan pelestarian ma’at. Irama Sungai Nil, seni kuil, dan ritual pertanian semuanya mencerminkan ekologi moral ini.

Agama dan filsafat Yunani menganggap jiwa sebagai ilahi dan abadi, kemurniannya dijaga melalui kebajikan dan moderasi. Roma menghormati numen, kehadiran ilahi dalam segala hal, memupuk pietas: kewajiban, rasa syukur, dan harmoni dengan dewa dan alam.

Di antara Nordik, konsep wyrd menyatakan rasa suci tentang takdir dan keterhubungan—kehidupan sebagai jaring konsekuensi moral. Bertindak tidak terhormat atau mengeksploitasi alam berarti merobek benang keberadaan.

Namun tak ada tempat kesadaran akan saling ketergantungan suci ini lebih dalam diwujudkan daripada di antara bangsa pribumi. Pemahaman Algonquian tentang Manitou melihat roh di setiap makhluk—batu, sungai, burung, atau angin. Kosmologi Maya menggambarkan kehidupan sebagai anugerah yang dipertahankan oleh timbal balik. Penghormatan Inka terhadap Pachamama (Ibu Pertiwi) menghasilkan sistem penatalayanan ekologi yang canggih. Shinto di Jepang menghormati kami, roh ilahi dalam alam; Taoisme di Tiongkok mengajarkan wu-wei, penyelarasan tanpa usaha dengan Tao.

Tradisi ini berbagi bukan hanya penghormatan terhadap kehidupan, tetapi juga hubungan yang radikal berbeda dengan kematian. Kematian tidak ditakuti—ia dipahami. Bagi mereka, kematian adalah kembali ke keseluruhan suci, kelanjutan hubungan dengan bumi, leluhur, dan ilahi. Hidup dengan benar berarti mati dengan damai, mengetahui bahwa seseorang tidak mengkhianati tatanan kehidupan.

Ini berdiri kontras tajam dengan sebagian besar pola pikir Barat modern, di mana kematian ditakuti, dihindari, disterilkan. Mengapa? Karena jauh di dalam, banyak yang tahu bahwa mereka telah hidup dalam pengkhianatan terhadap yang suci. Peradaban yang menghancurkan hutan, menyiksa hewan, dan melancarkan perang tanpa akhir tidak dapat menghadapi kematian dengan damai. Ketakutannya tidak berakar pada misteri—tetapi pada rasa bersalah. Di suatu tempat di dalam, bahkan pikiran paling sekuler merasakan perhitungan ilahi. Ketakutan akan kematian adalah ketakutan akan penghakiman—bukan dari atas, tetapi dari dalam.

Tradisi Filosofis: Nalar sebagai Cahaya Suci

Bahkan tradisi rasional filsafat, sering terpisah dari agama, menggemakan kebenaran percikan ilahi. Sokrates berbicara tentang daimonion-nya—suara batin ilahi yang membimbingnya menuju keadilan. Plato mengajarkan bahwa rumah sejati jiwa adalah alam Kebaikan abadi, dan pengetahuan serta kebajikan adalah tindakan mengingat. Aristoteles menemukan berkembangnya manusia (eudaimonia) dalam pelaksanaan nalar, persahabatan, dan keseimbangan dengan alam secara harmonis.

Stoisisme, dengan keyakinannya pada logos—tatanan rasional ilahi yang meresap alam semesta—menawarkan etika spiritual penerimaan, kebajikan, dan kasih sayang. Hidup bertentangan dengan alam berarti hidup bertentangan dengan nalar itu sendiri.

Konfusianisme dan filsafat Pencerahan melanjutkan garis ini: Konfusius melalui ren (kemanusiaan) dan Kant melalui hukum moral di dalam. Namun bahkan tradisi ini, ketika dilucuti dari kerendahan hati spiritualnya, diambil alih oleh kekaisaran kolonial untuk membenarkan dominasi dengan kedok “peradaban”. Nalar, ketika dipisahkan dari penghormatan, menjadi alat penaklukan.

Akibat Budaya dari Kehilangan Percikan Ilahi

Kemunduran spiritual dunia modern bukanlah misteri—itu adalah hasil logis dari peradaban yang mengganti tatanan ilahi dengan kalkulasi ekonomi. Di mana hukum kuno mencari harmoni, hukum modern menguduskan kepemilikan. Di mana ritual pribumi menghormati timbal balik, perdagangan modern memaksakan ekstraksi. Hasilnya adalah kehancuran planet: hutan dihancurkan, lautan tersumbat, dan miliaran makhluk berakal dibantai demi kenyamanan.

Kekaisaran yang pernah membenarkan ekspansi mereka sebagai misi ilahi kini melanggengkan kekerasan melalui pasar dan militer. Gaza, yang pernah menjadi bagian dari buaian nubuat dunia, kini direduksi menjadi reruntuhan di bawah tatapan bangsa yang menyebut diri Kristen atau demokratis. Percikan ilahi berkelip di tengah asap drone dan jeritan anak-anak. Penodaan pohon zaitun—simbol perdamaian dan ketabahan—adalah penodaan suci itu sendiri.

Dan di balik semuanya mengintai kengerian kematian—kengerian yang lahir bukan dari yang tak diketahui, tetapi dari yang tak tertebus. Dunia yang menghancurkan ciptaan tahu bahwa ia telah berdosa. Ketakutannya bukan metafisik—ia adalah moral.

Konvergensi Etis: Penatalayanan dan Kasih Sayang sebagai Tindakan Perlawanan

Semua tradisi berkonvergensi pada dua imperatif suci: penatalayanan dan kasih sayang. Menjadi penatalayan berarti menjaga yang suci; menjadi penuh kasih berarti bertindak sebagai utusannya. Ini bukan kebajikan kelemahan tetapi senjata ilahi melawan kekaisaran.

Khalifa Islam, ahimsa Hinduisme, b’tzelem Elohim Yudaisme, perintah kasih Kristen, karuna (kasih sayang) Buddhisme, Rede Wicca, me Sumeria, ma’at Mesir, Manitou Algonquian, qi Taois—masing-masing memanggil kita pada pemberontakan yang sama melawan kekejaman dan keserakahan.

Merebut kembali penatalayanan berarti menghadapi kekuatan yang mengambil untung dari kematian. Mempraktikkan kasih sayang berarti menolak keterlibatan dalam sistem yang menghancurkan kehidupan. Setiap tindakan kebaikan, setiap perlindungan hutan, setiap penolakan untuk mendepersonalisasi adalah tindakan pembangkangan spiritual.

Percikan Ilahi dan Kematian: Ingatan Jiwa

Percikan ilahi tidak hanya membimbing kehidupan—ia mempersiapkan kita untuk kematian. Dalam tradisi suci dunia, pencerahan bukan pelarian tetapi realisasi: Jannah, moksha, Nirwana, surga, Valhalla, Tlalocan, Summerland, atau kedamaian Stoik bukanlah alam jauh tetapi keadaan jiwa yang diperoleh melalui tanpa kekerasan, kasih sayang, dan harmoni. Kematian, bagi yang menghormati percikan, bukanlah pemutusan—ia adalah kepulangan, kembali ke keseluruhan suci.

Seorang petani Palestina, yang menanam kembali pohon zaitunnya di tengah reruntuhan, berjalan di jalan ini. Perjuangannya adalah keadilan fitra, keilahian Atman, energi teotl, timbal balik Manitou—sumpah bodhisattva yang hidup. Ia tidak takut mati; ia melampauinya.

Tetapi di mana percikan dikhianati—di mana hutan terbakar, hewan menjerit dalam kandang, dan anak-anak dikubur di bawah bom—kematian menjadi kengerian. Bukan karena ia tak diketahui, tetapi karena ia diketahui. Jiwa, jauh di dalam fitra-nya, mengingat. Ia tahu buku besar. Ia tahu kebun zaitun itu suci. Ia tahu serangan drone adalah penistaan.

Berjuang untuk pencerahan berarti hidup tanpa takut mati. Takut mati berarti mengakui bahwa kau tak pernah hidup sama sekali.

Kesimpulan: Merebut Kembali Api Ilahi

Esensi ilahi—fitra, Atman, logos, teotl, kami, b’tzelem Elohim—bukanlah ide abstrak tetapi kehadiran hidup kebenaran dalam semua makhluk. Merebutnya kembali berarti menentang setiap kekaisaran, setiap ideologi, setiap ekonomi yang menyangkal kesucian kehidupan.

Bangsa pribumi masih hidup dalam kebenaran ini melalui kesederhanaan dan timbal balik. Muslim memanggilnya melalui penatalayanan dan keadilan. Buddhis, Hindu, Kristen, Yahudi, dan Pagan semuanya memegang serpihan cahaya yang sama. Itulah cahaya yang kini terkubur di bawah reruntuhan Gaza, abu hutan, dan keheningan mereka yang tahu lebih baik namun tak berbuat apa-apa.

Percikan ilahi membakar paling terang dalam perlawanan: dalam ibu yang melindungi anaknya, dalam petani yang menanam kembali kebun zaitunnya, dalam pengunjuk rasa yang berdiri di depan mesin. Memulihkan dunia berarti mengingat untuk apa kita diciptakan: kasih sayang, tanpa kekerasan, dan harmoni. Apa pun yang kurang adalah penistaan terhadap ciptaan.

Dan ketika kematian datang—seperti yang harus—semoga ia tidak menemukan kita takut, tetapi siap. Siap menghadapi bukan hukuman, tetapi kebenaran. Untuk berkata: Aku menghormati percikan ilahi. Aku tidak menghancurkan, aku melindungi. Aku tidak mengeksploitasi, aku mencintai.

Itulah arti iman. Itulah jalan kembali kepada Tuhan.

Impressions: 14